Maret 26, 2008

Niteni, Nirokake dan Nambahi

Triple N ajaran Ki Hajar Dewantoro di atas emang sangat manjur untuk menyederhanakan langkah apa yang harus diambil bagi seorang penulis pemula (tunjuk diri)

Niteni = mengamati, mengobservasi
Nirokake = menirukan, mengaplikasikan
Nambahi = menambahkan, memodifikasi

Seperti juga slogan ATM (amati, tiru dan modifikasi) yang pernah kubaca di artikel penulis produktif Romi Satria Wahono, maka sekarang yang kulakukan adalah tahap N yang pertama atau A yaitu Niteni atau Mengamati atau Mengobservasi.
Tahap mengamati yang dimaksud mgk dgn banyak baca artikel, jurnal gratis, buku tugas akhir mahasiswa, juga browsing2 dan baca2 referensi lainnya. setelah dapet banyak inspirasi dari membaca termasuk dari buku bagusnya pak Imam Robandi “becoming the winner” , sekarang waktunya menuangkan ide ke dalam tulisan.

Dari sekian banyak ide ternyata susah juga nentuin topik yg pas. Apalagi mau nulis abstraksinya, pendahuluannya, dan seterusnya. Dan inilah tahap yang sering bikin mandeg. Disela-sela “mandeg” tadi biar gak keterusan maka dituangin dulu uneg2 di blog ini dengan harapan setelah sharing ini bisa dapat feedback dari pembaca blogku (itupun kalo ada yg baca atau nyasar ke-blogku..hehe)

tempatku ngajar skrg ini lagi hangat2nya diminta nulis artikel..selain karena keharusan untuk persyaratan akademik yang dibutuhkan institusi kami saat ini, juga karena teman2 seprofesi mulai “ngeh” bahwa yg namanya dosen mau nggak mau harus nulis, selain tugas utamanya ngajar. Saking kuatnya virus itu sampe2 kayak “demam”... obrolan, browsingan, guyonan semuanya dalam konteks penelitian. Apalagi diruanganku yang emang “penghuninya” pada ngocol jadinya malah ngobrol ngalur ngidul bahas gmn bisa nulis penelitian, jadinya ya gak nulis2, jadinya ya ngomong thok he he...
Tapi lumayan juga ada yg udah nemu topik menarik dan bikin abstraksinya, ada yg udah dlm tahap “reformat” skripsinya dengan rencana pengembangan disana sini, ada yg udah ada ide ngumpulin mahasiswa bimbingannya untuk diajak kolaborasi nulis penelitian dengan topik mereka yang ntar mau dikembangin. 
Padahal kita ditarget bulan depan minimal harus ada 2 penelitian yg udah kelar. Target itu mau gak mau harus dipenuhi disamping menjadi salah satu persyaratan untuk perpanjangan ijin institusi dan persiapan akreditasi, juga karena kami2 ini udah sangat kadaluwarsa gak pernah nulis. #koreksidiri

Maret 04, 2008

sabai dee



Sabai dee... sapaan akrab khas Laos ini artinya "apa kabar". sapaan akrab lainnya yg kuingat adalah khob chai yg artinya "terima kasih". Pengalaman pertama ke Vientiane thn 2007 lalu cukup mengesankan. Apalagi saat itu aku & teman2 satu komunitas elearning IGI berkesempatan bisa sambil mengajar, ini juga karena kebetulan terlibat dlm proyek kerjasama pemerintah Indonesia dan Jerman lewat payung IGI - GTZ HRD ME Laos untuk pengembangan elearning di sana.. alhamdulillah

Pertama kali tiba di Vientien, awal nov 2007 lalu,  kesannya kami kayak mau mendarat di hutan, karena dari atas pesawat sama sekali gak ngeliat gemerlap lampu spt di bandara internasional Soetta Jakarta atau Suvarnabhumi Bangkok. Ternyata bandara internasional Wattay di kota Vientiane sangat sepi , sederhana dan kecil gak spt bandara internasional pd umumnya. Sptnya hanya menghubungkan ke negara2 tetangga terdekat - yg berbatasan langsung dg Laos spt Thailand, China, Vietnam, Myanmar dan Kamboja.

Pak Ben dan Pak Peter dari pihak IGI-GTZ langsung yg njemput kami, dari bandara langsung menuju hotel. Agak shock begitu nyampe hotel sekelas melati yg letaknya di jalan kecil yg mirip gang. Saat kami tiba memang pas weekend dan barengan ada festival sungai Mekong, jadi banyak turis luar yg dateng ke Vientien, dan semua hotel berbintang lagi penuh. Di sisi lain letak hotel kecil itu deket banget dengan sungai Mekong bisa dikatakan di pinggirannya , view di malam hari cukup bagus krn sungainya cukup luas dan daratan diseberangnya udah masuk wilayah thailand jd keliatan gemerlap lampu yg berderet gitu, tapi tetep aja gak nyaman suasana di dalam hotel dan kamarnya agak pengap.

Bersyukur esoknya - hari Senin udah gak peak season. Kami dipindahkan ke hotel yg lebih nyaman. Hotel pertama yg kami tempati namanya Mongkol Hotel - diplesetin temen2 jadi "mangkel hotel" krn sedikit bikin mangkel.. he he 

Vientien kotanya lengang maklum jumlah penduduknya sedikit, total seluruh Lao waktu itu hanya separo jumlah penduduk Jakarta. Cuacanya cukup sejuk, selama jln2 di sana gak pernah keringatan. Kotanya unik dgn banyak vihara yg khas spt di Bangkok. View yg bagus di sekitar sungai Mekong, dan banyak bangunan lama bergaya Perancis - Lao bekas jajahan Perancis. Dan ada satu bangunan cantik di Patuxay Park mirip yg ada di Paris (lupa namanya..itu tuh tempat Lady Di yg kecelakaan dulu). 

Sepintas keliatan kehidupan di sana sederhana, tapi mobil2 yg berseliweran bagus2, dan posisi kemudi di sebelah kiri, jarang banget ditemui mobil jelek / tua kecuali tuk-tuk (angkutan umumnya)

Acara pembukaan training elearning untuk guru2 di Laos ini dihadiri oleh sekretaris III Dubes RI untuk Laos waktu itu - pak Loegeng ...beliau seneng banget ketemu kami yg ke Laos untuk ngajar. malamnya kami diundang ke Kedubes RI di Laos untuk jamuan makan malam sekaligus menghadiri sosialisasi amandemen UUD 45 oleh anggota MPR yg lagi berkunjung ke Laos (kebetulan banget). Kami bisa ketemu dg sebagian masy. Indonesia yg ada di Laos, plus bisa icip2 masakan Indonesia. Alhamdulillah trainingnya juga berjalan lancar, pesertanya pada semangat, banyak diantara mereka yg datang dari luar provinsi.

Kaum wanita dan remaja putri di Vientiane masih banyak yg setia make rok berbahan tradisional spt ulos (foto paling atas). Mereka keliatan bersahaja, pemandangan itu dapat ditemui di banyak tempat, di kampus, di pasar, di jalanan. Berbeda dengan kebanyakan remaja Bangkok yg pakaiannnya lebih casual menurutku. Kebetulan tahun 2006 sempat ke Bangkok - hadiri undangan konferensi elearning di Ramkhamhaeng University (disponsori IGI-GTZ juga.. terimakasih). 


Ada lagi yg unik dgn cara makan masyarakat di sana. Dalam satu jamuan makan siang di National University of Laos (NUOL), ada 2 bakul nasi yg tampilannya emang agak beda, penasaran kucoba dua2nya, ternyata yang satunya ketan, terlanjur ngambil kunikmati sjdgn lauk pauk dan sayuran yg tersedia (sayurnya super buanyak dan mentah..rupanya mereka penyuka lalapan spt org sunda..pantes kebanyakan cewek2 yg kutemui disana langsing2). dan yg bikin surprise...mereka dg santainya mengepal2 ketan itu dg tangan kiri sementara tangan kanan meramu sayur dan lauk di piring tersendiri..kemudian mencocol ketan yg udah berubah jadi bola2 kecil tadi ke "ramuan" yg mereka buat.

Vientiane - kota kecil yg dialiri sungai mekong yg legendaris itu sangat lengang...nggak ada macet blas! enaknya lagi disana berlaku 3 mata uang : dolar, baht (mata uang thailand) dan kip (mata uang Laos) jadi kalo kehabisan salah satunya gak perlu susah2 cari money changer, lagian disana gak bisa boros ..tempat cuci matanya terbatas 😊